WAJO WARTASULSEL.ID - Divisi Hukum Lembaga Komunitas Anti Korupsi (L-KONTAK), Sukriadi, S.H, menyoroti soal aktifitas tambang yang kerap melakukan pengambilan tanah, pasir dan bebatuan yang dilakukan secara ugal-ugalan di wilayah Kabupaten Wajo.
Penelusuran L-KONTAK, hasil tambang ilegal itu diperuntukkan untuk beberapa proyek pemerintah dan kawasan perumahan yang diduga sebagai penadah hasil tambang ilegal.
Sukriadi menilai, ada yang aneh dari sikap Pemerintah Daerah Kabupaten (Pemkab) Wajo yang justru memberikan peluang oknum tertentu melakukan aksi penambangan tanpa izin dengan mengatasnamakan pembangunan tempat ibadah dan pesantren.
Sebab itu, Sukriadi mendorong agar Aparat Penegak Hukum dan Pemkab Wajo melakukan tindakan tegas dengan menghentikan ulah oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab itu dan menyeret pelakunya ke peradilan Tindak Pidana Korupsi (Tipidkor).
"Pemda Wajo harus menutup tambang itu dan APH memproses hukum pelakunya sampai ke Pengadilan Tipikor," tegas Sukriadi. Kamis, 27 Februari 2025, kepada media ini.
Sukriadi mengaku heran, pasalnya aktivitas tambang batuan (Tanah urug) jelas-jelas sangat merusak lingkungan, tetapi Pemerintah Daerah setempat masih berdiam diri, seakan-akan memberikan peluang terjadinya kesalahan.
"Diduga ada praktik-praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam aktivitas tersebut. Ada apa dengan tambang ilegal di Wajo yang jelas-jelas merusak lingkungan, tapi masih berjalan terus?," cetusnya.
Berdasarkan regulasi yang diatur, semua lapisan masyarakat baik individu ataupun per kelompok tanpa terkecuali harus menaati Undang-Undang (UU) yang berlaku dalam melakukan aktifitas kegiatan penambangan.
"Siapa pun melakukan kegiatan apa pun itu harus mengacu pada UU yang ada. Nah, kalau orang per orang atau seseorang melakukan kegiatan tanpa izin usaha, itu kan namanya ilegal, kalau ilegal itu melanggar UU, kan begitu logikanya," tegasnya.
Jika, kemudian aktifitas tambang itu ilegal, tentu semestinya ada konsekuensi hukum yang harus diterima dari Aparat Penegak Hukum (APH)
"Ketika melanggar UU kan ada ketentuan dalam UU itu, ada konsekuensi hukum yang harus diambil, tentu harus ada tindakan tegas dari APH untuk melakukan proses hukum. Itu yang harus dilakukan," jelasnya.
Padahal, kata Sukri, berdasarkan Pasal 96 UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, para pengelola tambang memiliki lima kewajiban, termasuk pengelolaan dan pemantauan lingkungan, serta reklamasi dan pemulihan pasca tambang.
"Sayangnya kewajiban itu diabaikan pengusaha tambang ilegal," ungkapnya.
Untuk itu, ia juga mendorong APH dan kementerian terkait agar turun tangan dan menindak tegas tambang ilegal yang masih beroperasi tersebut.
"Sebab, berdasarkan Pasal 158 UU No 4 Tahun 2009, setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR), atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dapat dikenakan hukuman penjara hingga 10 tahun dan denda maksimal Rp 10 miliar. Selain itu, pengelola juga diwajibkan memiliki izin khusus untuk penjualan dan pengangkutan, sebagaimana diatur dalam Pasal 161 UU yang sama," pungkasnya.
Diketahui sebelumnya, L-KONTAK melaporkan secara resmi beberapa oknum yang diduga terlibat pada beberapa lokasi penambangan, diantaranya, aktivitas di Bulucepo (Desa Ujung Baru, Kecamatan Tanasitolo), Jalan Andi Unru (Desa Assorajang, Kecamatan Tanasitolo), dan beberapa lokasi lainnya yang diduga hanya mengejar keuntungan.
*QMH. Andi Polyogama Anthon.**